بسم الله الرحمن الرحيم

A. SEJARAH SINGKAT PENULISAN DAN PEMBUKUAN HADITS
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur baur dengan penulisan Al-Qur’an. Pada masa itu, disamping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Pelarangan penulisan hadits ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
# “Janganlah kamu menulis sesuatu dariku, dan barangsiapa telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an hendaklah ia menghapusnya, dan ceritakan dariku, tidak ada keberatan (kamu ceritakan apa yang kamu dengar dariku). Dan barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di dalam neraka.” (HR. Muslim)
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinasakh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya antara lain hadits yang disabdakan pada ‘amulfath (tahun. VIII H) yang berbunyi: “Tulislah untuk Abu Syah
Demikian pula dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat Abdullah bin Amr yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengizinkan menuliskan hadits.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah Agama Islam tersiar di daerah-daerah yang makin luas dan para sahabat terpencar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat.
Tatkala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah (tahun 99 s/d 101 H), beliau menginstruksikan kepada para Gubernur agar menghimpun dan menulis hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Instruksi beliau mengenai penulisan hadits ini antara lain ditujukan kepada Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Madinah.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Dhuhal Islam, Abubakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm tidak lagi meneruskan penulisan hadits ini karena setelah khalifah wafat, dia tidak lagi menjabat sebagai Gubernur.
Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain.
Penulisan dan pembukuan hadits Nabi ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab Al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

B. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG MENGAMALKAN HADITS DHAIF/LEMAH
Suatu hadits dikatakan dhaif apabila hadits tersebut sanadnya terputus atau ada cacat/cela pada perawinya, seperti: berbuat dusta, tersangka dusta (baik sangkaan itu dalam bidang meriwayatkan hadits atau lainnya), sering melakukan kesalahan, sering keliru, sering lengah, sering melakukan perbuatan maksiat, salah sangka, bertentangan dengan perawi yang lain yang lebih baik, jelek hafalannya, dll.
Ulama-ulama hadits telah sepakat bahwa kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang hukum/menentukan hukum sesuatu. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang mempergunakannya dalam bidang:
1. Fadha ‘ilul A’mal (Keutamaan-Keutamaan Amal)Yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang keutamaan-keutamaan amal yang sifatnya sunnah ringan, yang sama sekali tidak terkait dengan masalah hukum yang qath’i, juga tidak terkait dengan masalah aqidah dan juga tidak terkait dengan dosa besar.
2. At-Targhiib (Memotivasi)Yaitu hadits-hadits yang berisi pemberian semangat untuk mengerjakan suatu amal dengan janji Pahala dan Surga.
3. At-Tarhiib (Menakuti)Yaitu hadits-hadits yang berisi ancaman Neraka dan hal-hal yang mengerikan bagi orang yang mengerjakan suatu perbuatan.
4. Kisah-kisah Tentang Para Nabi Dan Orang-Orang Sholeh
5. Do’a Dan DzikirYaitu hadits-hadits yang berisi lafazh-lafazh do’a dan dzikir.
Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Bakar Ibnul ‘Araby, Ibnu Hazm dan segenap pengikut Dawud Adz-Dzahiry: kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang apapun juga walaupun untuk menerangkan fadha ‘ilul a’mal, supaya orang tidak mengatas namakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan/perbuatan yang tidak disabdakan/diperbuat oleh beliau, dan supaya orang tidak mengi’tiqatkan sunnahnya sesuatu yang sebenarnya tidak dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau belum tentu dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang membawa akibat kita diancam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam neraka karena berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:
# “Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta.” (HR. Muslim)
# “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Syaikh Abu Syammah berpendapat bahwa seseorang tidak boleh menyebutkan suatu hadits dhaif melainkan ia wajib menerangkan kelemahannya. [Lihat al-Baits ‘ala Inkari Bida’ wal Hawadits (hal. 54) dan Tamaamul Minnah fiit Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah hal. 32-33.]
Sedangkan menurut imam An-Nawawi dan sebagian ulama hadits dan para fuqaha: kita boleh mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu Hajar memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib dengan tiga syarat berikut:
1. Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.
2. Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar.
3. Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Syarat yang kedua dan ketiga tersebut di atas sangat ditekankan dan ditegaskan oleh Ibnu Salam, sedangkan syarat yang pertama disetujui oleh semua ulama.
Imam Ahmad berkata: “Hadits dhaif itu lebih baik dari qiyas.” Yang dimaksud oleh Imam Ahmad dengan hadits dhaif tersebut adalah hadits yang setingkat dengan hadits hasan, karena pada masa Imam Ahmad belum ada pembagian hadits menjadi tiga kelompok, yaitu shahih, hasan dan dhaif. Yang ada baru pembagian hadits atas dua kelompok, yaitu shahih dan dhaif saja.
Pembagian hadits dari dua kelompok saja (hadits shahih dan hadits dhaif) menjadi tiga kelompok (hadits shahih, hadits hasan dan hadits dhaif) dilakukan oleh Imam At-Tirmidzi dan kemudian diikuti oleh ulama-ulama berikutnya, dimana hadits dhaif yang tidak seberapa kelemahannya dikelompokkan sebagai hadits hasan.
C. PERNYATAAN PARA IMAM MADZHAB UUNTUK MENGIKUTI SUNNAH DAN MENINGGALKAN YANG MENYALAHI SUNNAH
1. Imam Abu Hanifah rahimahullah (Imam Hanafi)
Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Para muridnya telah meriwayatkan berbagai macam perkataan dan pernyataan beliau yang seluruhnya mengandung satu tujuan, yaitu kewajiban berpegang teguh pada Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan sikap taqlid/membeo pendapat-pendapat para imam bila bertentangan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ucapan beliau:
# “Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.”
[Ibnu Abidin dalam Kitab Al-Hasyiah 1/63 dan Kitab Rasmul Mufti 1/4 dari kumpulan tulisan Ibnu Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih Al-Filani dalam Kitab Iqazhu Al-Humam hlm. 62 dan lain-lain. Ibnu Abidin menukil dari Syarah Al-Hidayah, karya Ibnu Syahnah Al-Kabir, seorang guru Ibnul Humam, yang berbunyi:
“Bila suatu Hadits shahih sedangkan isinya bertentangan dengan madzhab kita, yang diamalkan adalah Hadits. Hal ini merupakan madzhab beliau dan tidak boleh seorang muqallid menyalahi Hadits shahih dengan alasan dia sebagai pengikut Hanafi, sebab secara sah disebutkan dari Imam Abu Hanifah bahwa beliau berpesan: “Jika suatu Hadits shahih, itulah madzhabku.” Begitu juga Imam Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dari Abu Hanifah dan para imam lain pesan semacam itu]
# “Tidak halal bagi seseorang mengikuti perkataan kami bila ia tidak tahu dari mana kami mengambil sumbernya.”
[Ibnu ‘Abdul Barr dalam Kitab Al-Intiqa fi Dadhail Ats-Tsalasah Al-Aimmah Al Fuqaha hlm. 145, Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqqi’in II/309, Ibnu ‘Abidin dalam Hasyiyah Al-Bahri Ar-Raiq VI/293, dan Rasmu Al-Mufti hlm. 29 dan 32, Sya’rani dalam Al-Mizan I/55 dengan riwayat kedua, sedang riwayat ketiga diriwayatkan Abbas Ad-Darawi dalam At-Tarikh, karya Ibnu Ma’in VI/77/1 dengan sanad shahih dari Zufar. Semakna dengan itu diriwayatkan dari beberapa orang sahabatnya, yaitu: Zufar, Abu Yusuf, dan Afiyah bin Yazid, seperti termaktub dalam Al-Iqazh hlm. 52. Ibnul Qayyim menegaskan shahihnya riwayat ini dari Abu Yusuf II/344 dan memberi keterangan tambahan dalam Ta’liqnya terhadap Kitab Al-Iqazh hlm. 65, dikutip dari Ibnu ‘Abdul Barr, Ibnul Qayyim dan lain-lain]
# “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu.”
[Al-Filani dalam Kitab Al-Iqazh hlm. 50, menisbatkan kepada Imam Muhammad juga, kemudian ujarnya:
“Hal semacam ini dan lain-lainnya yang serupa bukanlah merupakan sifat mujtahid, sebab dia tidak mendasarkan hal itu pada pendapat mereka, bahkan hal semacam ini merupakan sifat muqallid.”]

2. Malik bin Anas (Imam Maliki)
Imam Malik bin Anas menyatakan:
# “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, ambillah; dan bila tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah.”
[Ibnu ‘Abdul Barr dan dari dia juga Ibnu Hazm dalam Kitabnya Ushul Al-Ahkam VI/149, begitu pula Al-Fulani hlm. 72]
# “Siapa pun perkataannya bisa ditolak dan bisa diterima, kecuali hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri.”
[Di kalangan ulama mutaakhir hal ini populer dinisbatkan kepada Imam Malik dan dinyatakan shahihnya oleh Ibnu ‘Abdul Hadi dalam Kitabnya Irsyad As-Salik I/127. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdul Barr dalam Kitab Al-Jami’ II/291, Ibnu Hazm dalam Kitab Ushul Al-Ahkam VI/145, 179, dari ucapan Hakam bin Utaibah dan Mujahid. Taqiyuddin Subuki menyebutkannya dalam Kitab Al-Fatawa I/148 dari ucapan Ibnu ‘Abbas. Karena ia merasa takjub atas kebaikan pernyataan itu, ia berkata:
“Ucapan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu ‘Abbas, kemudian Malik mengambil ucapan kedua orang itu, lalu orang-orang mengenalnya sebagai ucapan beliau sendiri.”]
# “Ibnu Wahhab berkata: “Saya pernah mendengar Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki di dalam wudhu, jawabnya: ‘Hal itu bukan urusan manusia.’” Ibnu Wahhab berkata: “Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya: ‘Kita mempunyai Hadits mengenai hal tersebut.’ Dia bertanya: ‘Bagaimana Hadits itu?’ Saya jawab: ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, ‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dan Yazid bin ‘Amr Al-Mu’afiri, dari Abi ‘Abdurrahman Al-Habali, dari Mustaurid bin Syaddad Al-Qurasyiyyi, ujarnya: Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya.’ Malik menyahut: ‘Hadits ini hasan, saya tidak mendengar ini sama sekali, kecuali kali ini.’ Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu menyela-nyela jari-jari kakinya.”
[Muqaddimah Kitab Al-Jarh Wa At-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hlm. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam Sunan-nya I/81]

3. Imam Syafi’i
Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam Syafi’i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus [Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya VI/118:
"Para ahli fiqh yang ditaqlidi telah menganggap batal taqlid itu sendiri. Mereka melarang para pengikutnya untuk taqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Syafi'i. Beliau dengan keras menegaskan agar orang mengikuti Hadits-Hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan dalam hujjah selama tidak ada orang lain yang menyampaikan hujjah yang lebih kuat serta beliau sepenuhnya berlepas diri dari orang-orang yang taqlid kepadanya dan dengan terang-terangan mengumumkan hal ini. Semoga Allah memberi manfaat kepada beliau dan memperbanyak pahalanya. Sungguh pernyataan beliau menjadi sebab mendapatkan kebaikan yang banyak."] dan pengikutnya lebih banyak yang melaksanakan pesannya dan lebih beruntung.
Beliau berpesan antara lain.
# “Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikutinya. Apa pun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah itulah yang menjadi pendapatku.
[HR. Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam Syafi'i seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu 'Asakir XV/1/3, I'lam Al-Muwaqqi'in II/363-364, Al-Iqazh hlm. 100]
# “Seluruh kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu Hadits dari Rasulullah tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang
[Ibnul Qayyim II/361, dan Al-Filani hlm. 68]
# “Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah, peganglah Hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu
[Harawi dalam kitab Dzamm Al-Kalam III/47/1, Al-Khathib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi'i VIII/2, Ibnu Asakir XV/9/1, Nawawi dalam Al-Majmu' I/63, Ibnul Qayyim II/361, Al-Filani hlm. 100 dan riwayat lain oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/107 dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya III/284, Al-Ihsan dengan sanad yang shahih dari beliau, riwayat semakna]
# “Bila suatu Hadits shahih, itulah madzhabku
[Nawawi, dalam Al-Majmu', Sya'rani I/57 dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani hlm. 107. Sya'rani berkata:
"Ibnu Hazm menyatakan Haditst ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian imam-imam yang lain."]
# “Kalian lebih tahu tentang Hadits dan para rawinya daripada aku. Apabila suatu Hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya.”
[Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi'i hlm. 94-95, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/106, Al-Khatib dalam Al-Ihtijaj VIII/1, diriwayatkan pula oleh Ibnu 'Asakir dari beliau XV/9/1, Ibnu 'Abdil Barr dalam Intiqa hlm. 75, Ibnu Jauzi dalam Manaqib Imam Ahmad hlm. 499, Al-Harawi II/47/2 dengan tiga sanad, dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya, bahwa Imam Syafi'i pernah berkata kepadanya: "..... Hal ini shahih dari beliau. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim menegaskan penisbatannya kepada Imam Ahmad dalam Al-I'lam II/325 dan Fulani dalam Al-Iqazh hlm. 152." Selanjutnya, beliau berkata: "Baihaqi berkata: 'Oleh karena itu, Imam Syafi'i banyak mengikuti Hadits. Beliau mengambil ilmu dari ulama Hijaz, Syam, Yaman, dan Iraq'. Beliau mengambil semua Hadits yang shahih menurut penilaiannya tanpa pilih kasih dan tidak bersikap memihak kepada madzhab yang tengah digandrungi oleh penduduk negerinya, sekalipun kebenaran yang dipegangnya menyalahi orang lain. Padahal ada ulama-ulama sebelumnya yang hanya membatasi diri pada madzhab yang dikenal di negerinya tanpa mau berijtihad untuk mengetahui kebenaran pendapat yang bertentangan dengan dirinya." Semoga Allah mengampuni kami dan mereka."]
# “Bila suatu masalah ada Haditsnya yang sah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kalangan ahli Hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.”
[Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/107, Al-Harawi 47/1, Ibnul Qayyim dalam Al-I'lam II/363 dan Al-Filani hlm. 104]
# “Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi Hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna.”
[Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi'i hlm. 93, Abul Qasim Samarqandi dalam Al-Amali seperti pada Al-Muntaqa, karya Abu Hafs Al-Muaddib I/234, Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah IX/106, dan Ibnu Asakir 15/10/1 dengan sanad shahih]
# “Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.
[Ibnu Abi Hatim hlm. 93, Abu Nu'aim dan Ibnu 'Asakir 15/9/2 dengan sanad shahih]
# “Setiap Hadits yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku.
[Ibnu Abi Hatim, hal. 93-94]

4. Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali)
Ahmad bin Hambal merupakan seorang iman yang paling banyak menghimpun Haditsts dan berpegang teguh padanya., sehingga beliau benci menjamah koitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan ra’yu [Ibnu Jauzi dalam Al-Manaqib hlm. 192 ]
Beliau menyatakan sebagai berikut :
# “Janganlah engkau taqlid kepadaku atau kepada Malik, Syafi’i, Auza’i, dan Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.
[Al- Filani hlm. 113 dan Ibnul Qayyim dalam Al-I’lam II/302]
Pada riwayat lain disebutkan:
# “Janganlah kamu taqlid kepada siapa pun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima).” Kali lain dia berkata: “Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang daripara tabi’in boleh di pilih.
[Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad hlm. 276-277].
# “Pendapat Auza’i, Malik, dan Abu Hanifah adalah ra’yu (pikiran). Bagi saya semua ra’yu sama saja, tetapi yang menjadi hujjah agama adalah yang ada pada Atsar (Hadits).”
[Ibnu Abdul Barr dalam Al-Jami’ II/149]
# “Barangsiapa yang menolak Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berada di jurang kehancuran.
[Ibnu Jauzi hlm. 142]
D. WAJIBKAH TERIKAT PADA SATU MADZHAB SAJA?
1. Pendapat Mayoritas Ulama Ushul: Tidak Wajib Berpegang Pada Satu Madzhab Saja
Mereka mengatakan bahwa sorang muslim tidak diwajibkan untuk berpegang kepada satu imam saja dalam semua masalah dan kejadian dalam kaitannya dengan hukum syariah. Tetapi bila dia ingin bertaqlid kepada hanya salah satu di antara mujtahid / madzhab itu, dibolehkan.
Menurut mereka seseorang dibenarkan untuk bermadzhab dengan madzhab tertentu seperti Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyyah, Al-Hanabilah dan madzhab fiqih lainnya. Tetapi tidak berarti dia harus terpaku secara terus menerus pada pendapat dalam madzhab itu saja.
Hal ini karena memang tidak ada perintah dari Allah maupun Rasul-Nya yang mewajibkan untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Yang ada justru perintah untuk bertanya kepada ahli ilmu secara umum, yaitu mereka yang memang memiliki kemampuan pemahaman syariat Islam, tetapi tidak harus terpaku pada satu orang atau madzhab saja.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
# “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
# “Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. Al-Anbiya`: 7)
Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu dan juga para tabi`in pun tidak terpaku pada satu pendapat saja dari ulama mereka. Mereka akan bertanya kepada siapa saja yang memang layak untuk memberi fatwa dan memiliki ilmu tentang hal tersebut.
Maka tidaklah pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah madzhab.
Bahkan pada hakikatnya, setiap madzhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga. Lihatlah bagaimana dahulu Al-Imam Asy-Syafi’i merevisi madzhab qadimnya dengan madzhab jadid.
Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang masih menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan paling masyhur dari mereka adalah: “Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi madzhabku.” Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf (belum berpendapat) atau memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat. Maka perubahan pendapat dalam madzhab itu sangat mungkin terjadi.
Bila di dalam sebuah madzhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.

2. Pendapat Yang Mewajibkan Berpegang Pada Satu Madzhab Saja
Meski demikian, kita juga tidak mengingkari adanya pendapat sebagian dari ulama ushul yang mewajibkan seseorang untuk berpegang kepada satu madzhab saja.
Dalilnya adalah bahwa seseorang wajib mengikuti apa yang menurutnya lebih rajih atau lebih mendekati kebenaran. Dan bila seseorang sudah yakin bahwa madzhab yang dianutnya itu yang paling rajih, maka tidak boleh baginya mencari pendapat di luar madzhabnya.
Untuk argumentasi mereka ini, kita bisa menjawab bahwa tidak ada kewajiban bagi kita untuk harus selalu mengambil pendapat yang rajih. Terkadang untuk suatu kondisi darurat tertentu, kita masih dibolehkan untuk mengambil pendapat yang tidak rajih.
Dan mengenai kebolehan mengambil yang marjuh (mafdhul) dan meninggalkan yang rajih (afdhal), ada beberapa ketetapan para ulama ushul, antara lain:
# Al-Qadhi Atha’ bin Hamzah berkata,
Seorang qadhi boleh berpindah keluar madzhabnya oleh sebab darurat.”
# As-Shahkafi dalam Nash Ad-Dur Al-Mukhtar,
Seorang qadhi dibolehkan mengerjakan amal yang kurang masyhur dalam madzhabnya bila Sultan menetapkan hal itu.”
# Al-Mi’raj ‘An Fakhril Ummah:
Kebolehan amal dan fatwa dengan perkataan yang dhaif dalam keadaan darurat.”
# Ad-Dasuqi al-Maliki berkata,
Dibolehkan beramal dengan yang dhaif bagi seseorang untuk masalah dirinya atau juga dalam fatwa bila dipastikan adanya kedaruratan oleh mufti itu.
E. PANDANGAN AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG PERBEDAAN PENDAPAT
1. Ketidak-Utamaan Perbedaan Pendapat
# “Janganlah kamu berselisih, karena kamu akan menjadi lemah dan hilang kewibawaan kamu.” (QS. Al-Anfal: 46)
# “Janganlah kamu seperti orang-orang yang musyrik, yaitu mereka mencerai-beraikan agamanya dan bergolong-golongan. Dan setiap golongan berbangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Rum: 31-32)
# “Mereka terus-menerus berselisih kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Tuhannya.” (QS. Hud: 118-119)
# “Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-An’am: 153)

2. Mencari Jalan Keluar Apabila Terjadi Perbedaan Pendapat
# “Jika kamu berselisih pendapat maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
# Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
Di kalangan orang-orang terdahulu ada seorang laki-laki yang telah membunuh 99 orang, lalu dia mencari orang yang banyak ilmunya, kemudian dia ditunjukkan kepada seorang rahib, lalu dia mendatanginya, kemudian dia katakan bahwa dia telah membunuh 99 orang, apakah tobatnya bisa diterima? Rahib itu menjawab, Tidak bisa.” Laki-laki itu membunuh rahib tersebut, sehingga genaplah 100 orang yang telah dibunuhnya.
Kemudian laki-laki itu mencari orang lain lagi yang paling banyak ilmunya, lalu dia ditunjukkan kepada seorang yang alim (berilmu), kemudian dia mengatakan bahwa dia telah membunuh 100 orang, apakah tobatnya bisa diterima? Orang alim itu menjawab, “Bisa. Tidak ada penghalang antara kamu dengan tobatmu. Pergilah ke daerah begini dan begini, karena di sana banyak orang yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, lalu beribadahlah kepada Allah Azza wa Jalla bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke daerahmu, karena daerahmu memang jelek.”
Laki-laki itu pergi. Sesampainya di tengah perjalanan dia mati, maka malaikat Rahmat berbantahan dengan Malaikat Adzab. Kata malaikat Rahmat, “Orang ini pergi untuk bertobat dengan menghadap kepada Allah dengan sepenuh hati.” Kata malaikat Adzab, “Orang ini tidak berbuat kebaikan sama sekali.”
Kemudian mereka didatangi oleh satu malaikat lain dalam wujud manusia, lalu mereka meminta keputusan kepadanya. Kata dia, “Ukurlah jarak yang terdekat dengan orang yang mati ini dari tempat berangkatnya dan dari tempat tujuannya. Ke mana yang lebih dekat maka itulah keputusannya.” Ternyata hasil pengukuran mereka adalah bahwa orang yang mati tersebut lebih dekat ke tempat tujuannya, maka dia dalam genggaman malaikat Rahmat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas menjelaskan kepada kita bahwa:
1. Para malaikatpun tidak terlepas dari perbedaan pendapat.
2. Perbedaan pendapat tidak dibiarkan berlangsung terus tanpa penyelesaian.
3. Perbedaan pendapat diselesaikan dengan mengambil cara/pendapat yang terbaik/tershahih.